Makna Kepahlawanan dalam Isu Kekinian

[ penulis: Drs Jeni Akmal topik: Sejarah ]

Sebagai anak bangsa dan generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini, ternyata kita seringkali melupakan sejalah perjuangan bangsa sendiri. Karena mengabaikan sejarah perjuangan bangsa, maka rasa nasionalisme kita kian memprihatinkan dan wawasan kebangsaan kian menipis.

Kebanggaan terhadap Negara dan bangsa lain ternyata telah menggeser kebanggaan terhadap bangsa dan Negara sendiri. Untuk itulah ketika simbol-simbol Negara dan bangsa ini “diinjak-injak”, “dipandang sebelah mata” dan “dilecehkan” orang atau kelompok tertentu, maka semua kita “diam” tanpa makna. Anehnya, bahkan ada di antaranya yang ikut-ikutan nimbrung melakukan hal yang sama.

Kalau saja kita mengetahui, mengerti, dan memahami sejarah perjuangan bangsa ini, maka kita akan tersinggung sebagai bangsa yang merdeka manakala bendera merah putih dibakar atau diinjak-injak orang atau pihak lain.

Pengorbanan para pejuang kita dulunya untuk mengibarkan sang merah putih diberbagai pelosok negeri tentu tidak semudah apa yang kita lakukan pada setiap kegiatan upacara bendera ataupun peringatan hari-hari bersejarah dinegeri ini. Ternyata anggapan kita terhadap “Merah-Putih” hanya- bagaikan kertas dan kain yang tidak memiliki makna sama sekali. Padahal karena memperjuangkan “merah putih” tersebutlah, maka bangsa ini berjuang mati-matian untuk mendapatkan dan mempertahankan kemerdekaannya.


Bagi para pejuang dulunya,lebih baik mati berlumuran darah ketimbang hidup mewah dibawah kekuasaan penjajah. Kalau saja kita rajin membaca sejarah perjuangan bangsa, maka kita akan membaca tentang perlakuan biadab, tidak manusiawi, dan amoral para penjajah terhadap para pejuang kita. Untuk itu, wajar kiranya manakala saat sekarang pemerintah menyebutnya dengan Pahlawan.
Pahlawan, indah namanya, manis perjuangannya, besar jasanya, dan tinggi amalannya. Pahlawan, mulia cita-citanya, murni semangatnya. dan suci nilai-nilai perjuangannya. Untuk itu, pantas kiranya Achmad Maulana (2004) dalam karyanya Kamus Ilmiah Populer, mendefinisikan bahwa Pahlawan adalah orang-orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, perjuangan yang gagah berani.


Dalam hal ini Achmad Maulana menggarisbawahi bahwa perjuangan para pahlawan memiliki landasan yang jelas, yaitu kebenaran dengan metoda keberanian. Secara histories, karena keberanian perjuangan para pahlawan tersebutlah., maka banyak sekali di antara mereka yang berguguran di medan perang menghadapi para penjajah. Tidak hanya harta benda dan anak isteri yang telah mereka korbankan, melainkan juga jiwa raganya.


Ketika bangsa penjajah menawarkan dua opsi kepada para patriot negeri dan pejuang bangsa, yaitu; “hidup atau mati “, maka mereka lebih memilih mati ketimbang hidup bersama penjajah. Jika dua opsi tersebut ditawarkan penjajah kepada generasi bangsa ini saat sekarang, maka jumlah yang memilih mati untuk bangsa dan negaranya tentu sangat sedikit. Kita ternyata lebih memilih, harta, pangkat dan jabatan ketimbang “mengharumkan nama bangsa”.


Membanjirnya berbagai sumbangan ke Aceh pascagempa bumi dan tsunami ternyata dapat dijadikan sebagai ukuran akan kadar nasionalisme, rasa kebangsaan, dan nitai-nilai patriotisme kita sebagai anak bangsa. Karena ekststensi luar negeri, maka seakan-akan jasa, jerih paya dan partisipasi bangsa sendiri seakan-akan menjadi “sirna ditelan masa.”

Sebagai etnis pejuang, ditakuti musuh dan pernah jaya sepanjang massa, maka saatnya sekarang masyarakat Aceh harus bangkit secara bersama-sama. Ketika Aceh diserang Belanda pada 6 April 1873, dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler, maka dengan gagah berani, pantang menyerah dan semangat ingin tetap merdeka prajurit dan masyarakat sipil Aceh bersatu melawan Belanda. Walaupun pada serangan pertama Belanda berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman, namun pada selanjutnya prajurit dan masyarakat Aceh berhasil membuat pasukan Belanda mundur dengan korban yang sangat banyak, termasuk Mayjen J.H.R. Kohler. Beberapa pejuang yang dipimpin oleh Cut Nya‘ Dien, Teuku Umar, Teuku Chik Ditiro, Panglima Polem d1l, ternyata menggambarkan kepada kita betapa tingginya semangat pejuangan, jiwa patriotisme dan rasa nasionalisme masyarakat dataran sejarah perjuangan bangsa.

Potensi tersebut ternyata perlu diperlihara kapanpun dan dimanapun, karena memang pada era globalisasi saat sekarang, ekspansionisme tidak hanya dilakukan dalam adu kekuatan persenjataan, melainkan juga melalui berbagai dimensi kehidupan, seperti informasi, budaya, politik hukum, dan lain sebagainya. Menurut Michel Faucault dalam bukunya yang bejudul Kegilaan dan Peradaban (2002), mengakui bahwa orang-orang yang disebut dengan hero atau patriot yang dimiliki hampir semua bangsa adalah “orang-orang gila”.

Michel Faucault menyadari bahwa yang mampu mengubah sekaligus menyelamatkan dunia dari penjajahan, ketertindasan dan keterbelakangan karena sistem penjajahan adalah orang-orang gila. Orang gila dalam buku ini ternyata tidak pernah memikirkan tentang keselamatan diri mereka, melainkan melakukan serangan “membabi buta” untuk menumpas penjajah dengan tidak perlu banyak pikir akan potensi yang dimiliki orang lain. Michel Faucult juga mengisyaratkan bahwa yang mampu mengubah dunia adalah “orang-orang gila” dan bukanlah orang-orang “waras”.

Semangat Kepahlawanan Harus kita. akui bahwa saat sekarang kita kurang memiliki semangat kepahlawanan. Hampir diberbagai sektor kehidupan saat sekarang senang digerogoti oleh semangat untuk memperkaya diri, memperkokoh kekuasaan serta memanfhatkan kesempatan dalam kesempitan sekaligus berupaya untuk menghancurkan negeri Ini. Karena tidak memiliki semangat kepahlawanan, orang tidak peduh lagi dengan mereka yang korban, tidur ditenda-tenda pengungsian, hidup dalam duka dan lara serta hari-hari yang dilewatkan dalam penantian janj-janji.

Setiap hari, mobil-mobil mewah, dan manusia berdasi melewati barak pengungsi. Namun mereka tetap saja merana. Seliap hari para pengungsi diajak untuk bermimpi indah, namun setiap hari mereka merana, Setiap hari para pengungsi diberikan barapan hidup, namun kenyataannya untuk memasak nasi saja mereka harus membelah kayu, meniup bara dan mencari beras untuk makan siang dan malam.

Mereka butuh seorang Pahlawan yang akan memberikan seteguk air dikala haus, sesuap nasi dikala lapar, seranting kayu dikala tidak mampu berjalan, seuntai tali untuk bergantung dan selembar kertas Koran untuk alas tidur. Ketika suatu malam saya bergabung dengan. para pengungsi, malam penuh bintang mereka lewati hanya dengan berke1uh kesah tentang nasib mereka. Ditengah kegelapan mereka. bercengkrama dan diselingi dengan sikap iba serta meneteskan air mata.

Semangat kepahlawan perlu kita patrikan dalam rangka menciptakan Aceh yang benar-benar damai. Sebagai pahlawan muttaqin pasca-Ramadhan, sudah seharusnya keinginan untuk menciptakan Aceh yang damai tidak hanya jadi slogan belaka, melainkan harus mampu kita implementasikan lewat getaran jiwa, prilaku keseharian, dan sikap mental kita.

Para pahlawan, tentunya, tidak mau tampil sebagai manusia yang munafik, yang “lain di mulut lain di hati” dan “pepat di luar runcing didalam”. Sebagai bangsa yang beradab, tidak sepantasnya. kita. meniru tabiat kolonial Belanda. yang berdamai dikala lemah dan menyerang dikala kuat.

Jika memang kita sudah sepakat lewat MoU dengan beberapa butir perdamaiannya, mari kita laksanakan semuanya itu dengan niat yang tulus, itikad yang baik dan semangat membangun Provinsi NAD ini. Semoga Aceh ke depan akan lebih baik dari hari kemaren, dan Aceh esok akan lebih baik dari hari ini.

*) Penulis adalah Alumni Sastra Sejarah Unand, pemerhati masalah sosial politik.

Post a Comment

0 Comments